PAHLAWAN INDONESIA

Nopember bagi kita selalu dikaitkan dengan pahlawan. Hari Pahlawan tepatnya selalu kita peringati setiap tanggal 10 Nopember. Artinya, saat ini kita tengah diingatkan tentang pahlawan. Apakah artinya pahlawan bagi kita? Mengapa kita selalu harus memperingati hari pahlawan?

Pahlawan dalam konteks nasional tentu saja tidak lepas dari peristiwa sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Apalagi bila diingatkan tentang 10 Nopember tentu kita mengenang  satu episode perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan tanah air tercinta dari keinginan penjajah untuk kembali berkuasa. Kala itulah tindakan kepahlawanan dimunculkan dengan semangat pantang menyerah, membela tanah air dengan taruhan nyawa.

Mengenang 10 Nopember 1945 sama saja dengan membangkitkan kita akan semangat nasionalisme, cinta tanah air, siap menghadapi siapa saja yang mencoba merongrong, menjatuhkan harkat dan martabat kita sebagai bangsa dan Negara yang merdeka dan berdaulat.

Lantas bagaimana kita memaknai kembali 10 Nopember ketika penjajah tidak ada lagi? Apakah hari pahlawan kita lupakan begitu saja atau cukup dengan upacara oleh sejumlah elit, seperti pemberian gelar pahlawan kepada sejumlah tokoh di Istana Negara oleh Presiden? Jawabannya sudah pasti, tentu tidak hanya itu.

Semangat hari pahlawan justru kini makin perlu digelorakan dalam konteks kehidupan kita yang kini sudah merdeka. Ketika penjajah secara fisik tidak lagi terlihat nyata, justru saat itulah semangat kepahlawanan perlu lebih ditonjolkan. Kepahlawanan tidak hanya ketika dalam suasana perang atau pertempuran fisik.  Pahlawan malah dibutuhkan pada kondisi kehidupan kita sekarang ini.

Semangat dan tindakan kepahlawanan sangat diperlukan tatkala kita kini masih menghadapi banyak masalah, terlebih dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak usah terlalu jauh, ketika kini banyak musibah bencana melanda tanah air, mulai dari banjir bandang di Wasior,  Papua, gempa dan tsunami di Kepulawan Mentawai Sumatera Barat, hingga letusan Gunung Merapi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, saat itulah semangat dan tindakan kepahlawanan patut kita tunjukkan.

Kita patut menyampaikan apresiasi, rasa hormat mendalam kepada segenap relawan yang telah terjun langsung membantu para korban yang terkena musibah bencana. Mereka layak disebut sebagai pahlawan karena telah mendarmabaktikan dirinya membantu saudara-saudari kita yang memang sangat layak diberi pertolongan. Para relawan yang telah bertugas di lokasi bencana telah berbuat nyata, tanpa pamrih, demi membantu sesama.

Tentu saja tidak hanya para relawan, mereka yang lain pun, yang telah menunjukkan kepeduliannya ikut membantu sesuai dengan kemampuan dan bidang tugas masing-masing, tentu saja juga layak disebut pahlawan. Mereka juga telah mau secara ikhlas berbuat dan menunjukkan sikap kepedulian, simpati dan empati terhadap masyarakat yang terkena musibah.

Begitupun dengan masyarakat, saudara kita yang terkena bencana, layak kita sebut pahlawan ketika mereka tetap tabah, sabar dan tegar menghadapi musibah bencana yang demikian dahsyat. Semangat dan harapan mereka yang bertahan menghadapi cobaan yang demikian berat tentulah punya makna manakala dilandasi semangat perjuangan hidup, bertahan dengan disertai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semangat ini tidaklah mudah, terlebih ketika menghadapi kenyataan ada keluarga yang tewas, harta benda yang hancur, dan bahkan diri sendiri dalam kondisi terluka. Bukankah kenyataan yang mereka hadapi tidak berbeda seperti mengalami peperangan, pertempuran masa perjuangan kemerdekaan yang lalu?

Sebetulnya, tentu juga kepahlawanan tidak hanya pada saat kita didera bencana. Kapan dan di manapun, semangat kepahlawanan dapat tercuat dalam kehidupan kita. Apalagi ketika masih banyak rakyat Indonesia menghadapi berbagai masalah kemiskinan, kehidupan ekonomi yang masih morat marit, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan lain sebagainya, semangat dan tindakan kepahlawanan masih sangat diperlukan.

Begitu pula terhadap mereka kaum berpunya, mereka yang memiliki hidup yang mapan,  para elit yang sedang berkuasa, semangat dan tindakan kepahlawanannya juga sangat didambakan rakyat banyak. Justru dari mereka inilah semangat dan tindakan kepahlawanan itu sangat dinantikan. Rakyat membutuhkan semangat dan tindakan kepahlawanan dari pemimpin-pemimpin sejati.

Para elit, misalnya anggota DPR yang dengan ikhlas menunda atau bahkan membatalkan kunjungan ke luar negeri karena sadar itu lebih banyak kegiatan pelesiran daripada tugas, tentulah layak kita sebut memiliki semangat dan tindakan kepahlawanan. Apalagi bila mereka benar-benar mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat banyak, mengendalikan diri dari tindakan memperkaya diri atau mementingkan diri dan kelompoknya, juga termasuk memiliki semangat dan tindakan kepahlawanan.

Tampaknya, semangat dan tindakan kepahlawanan selalu perlu kita gelorakan, tidak hanya setiap bulan Nopember tetapi setiap saat. Terlebih lagi bagi umat Islam yang kebetulan beberapa hari lagi akan merayakan Idul Adha dengan mengedepankan semangat dan tindakan pengorbanan, lagi-lagi juga sangat terkait dengan pahlawan. Kata kunci dari pahlawan memang tidak lain adalah kerelaan mau berkorban.

Semangat pengorbanan menunjukkan adanya rasa solidaritas tinggi terhadap sesama, apalagi bagi masyarakat yang menghadapi bencana. Jadi, Nopember tahun ini kita benar-benar dihadapkan dalam kehidupan antara realitas, emosionalitas, rasionalitas, dan spiritualitas yang satu sama lain terkait atau tersambung. Tanpa perlu banyak kita berfikir atau merenung, apa yang tengah kita hadapi saat ini sesungguhnya telah menggugah hati nurani kita yang paling dalam untuk menunjukkan semangat dan tindakan kepahlawanan.

Hanya mereka-mereka yang lupa diri, tidak tahu diri, atau nurani yang sudah mati sajalah, bila tidak dapat memaknai peristiwa bencana saat ini, peringatan Hari Pahlawan, dan Idul Fitri bagi umat Islam. Semoga saja kita termasuk orang yang dapat menangkap makna dari apa yang kita hadapi saat ini. ***

Dipublikasi di duniaku, Umum, Uncategorized | Tag , , , , , | 2 Komentar

ADAT ISTIADAT SUKU DAYAK KALIMANTAN

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

  • Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

  • Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).

sumber: http://www.swaberita.com/2008/05/19/nusantara/adat-istiadat-suku-dayak.html

Dipublikasi di duniaku | Tag , | 2 Komentar

SEMANGAT BANGSA INDONESIA

Semangat belajar untuk mengetahui tentang blog semakin asik,inilah semangat generasi anak BANGSA INDONESIA yang tidak mau ketinggalan dengan bangsa lain.

Karena pernah terjajah oleh negara lain,itu lah yang membuat motivasi dan semangat bangsa bangkit,”KEGAGALAN ADALAH AWAL DARI SEBUAH KEBERHASILAN”,itulah sebuah peribahasa yang cocok untuk BANGSA INDONESIA sekarang,MERDEKALAH BANGSA INDONESIA UNTUK SELAMANYA……………..

Dipublikasi di Umum | Tag | 3 Komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar